Gunung Andong adalah gunung yang secara adimintratif adalah gunung yang ada di Kabupaten Magelang. Mempunyai ketinggian 1731 Mdpl, Gunung Andong sangat cocok digunakan sebagai tempat mendaki untuk para pemula. Apalagi sunset gunung Andongnya yang tidak terlupakan.
Untuk mendaki Gunung Andong, hingga saat ini tedapat beberapa rute yang bisa dilewati untuk mendaki Gunung Andong. Namun yang paling terkenal adalah rute via Sawit dan via Pendem.

Perjalanan Menuju Basecamp Gunung Andong
Matahari sudah condong ke arah barat dan tak lama lagi akan tenggelam, menandai awal perjalananku bersama kawan menuju Basecamp Gunung Andong yang berlokasi di Magelang. Aku berangkat bersama 9 orang lainnya dengan formasi 7 laki-laki dan 3 perempuan.
Sinar jingga mentari yang hampir tenggelam menemani perjalanan kami berbaur dengan suara deru mesin kendaraan yang bersahut-sahutan di jalan Solo-Semarang. Jalanan yang tak pernah lengang dan terus sibuk selama 24 jam. Sementara di ufuk barat, Gunung Merapi dan Merbabu berdiri berdampingan memancarkan keindahannya.
Tidak terasa langit jingga perlahan berubah menjadi hitam dengan ratusan sinar kelip gemintang menghiasi cakrawala, ketika kami memasuki wilayah Magelang. Aku dan rombongan kemudian menuju daerah Ngablak dimana basecamp gunung andong via sawait berada. Setelah perjalanan berliku, naik turun dan gelap akhirnya sekitar pukul 7 malam kami tiba di Basecamp Gunung andong Via Sawit.
Kami tiba tepat ketika adzan isya berkumandang. Setelah memarkir motor dan melakukan registrasi, kami beristirahat di masjid yang berada disekitar basecamp. Sembari beristirahat, kami sekaligus juga beradaptasi dengan suhu di Gunung Andong yang sangat dingin malam itu.
Seberes sholat, istirahat, makan dan melakukan segala persiapan, akhirnya pada pukul 9 malam kami memulai langkah untuk menuju ke puncak Gunung Andong.

Pendakian Malam
Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 9 malam. Cuaca sangat cerah dan tidak berkabut, begitupun dengan langit malam itu, sangat indah dengan kelap-kelip bintang dan sinar rembulan.
Setelah mengawali langkah di jalur makadam dengan perkebunan warga di kanan kirinya, kami tiba digerbang pendakian dimana gerbang itu adalah batas dari wilayah pemukiman warga dan hutan. Sebelum memasuki wilayah hutan, terlebih dahulu kami melewati jalur cor kurang lebih 100 meter dan berakhir di sebuah gubuk yang digunakan sebagai pos penjagaan.
Setelah gubuk itulah jalur mulai berubah menjadi tanah miring dan berdebu karena sudah lama tidak diguyur hujan. Jalur sudah mulai menanjak dan gelap, karena tertutup oleh lebatnya pohon pinus yang berada di sekeliling jalur.
Makin masuk lebih ke dalam hutan jalur semakin menanjak, aku dan teman-teman yang tadinya masih banyak mengobrol dan bercanda kini mulai irit dalam berbicara karena harus mengatur nafas dan tenaga yang makin lama makin terkuras.
Kami berjalan cukup lambat dan sering berhenti karena bagi beberapa kawan khususnya yang perempuan ini adalah pendakian perdana mereka, sehingga fisik mereka nampak kepayahan. Setelah kurang lebih 45 menit berjalan, kami tiba di pos 1. Pos 1 sendiri adalah sebuah lahan rata yang tidak terlalu luas. Disana terdapat sebuah gubuk dari bambu dan tempat duduk memanjang yang terbuat dari batang kayu.
Karena suhu yang sangat dingin kami tidak bisa berhenti terlalu lama dan segera melanjutkan perjalanan. Masih sama seperti sebelumnya, jalur setelah pos 1 masih didominasi jalan tanah setapak yang berdebu. Bedanya kali ini jalur sudah sedikit terbuka dan bintang bintang di langit sudah mulai kelihatan.
Tidak terlalu lama berjalan kami ternyata sudah tiba di pos 2. Berbeda dengan pos 1, tidak ada apa-apa di pos 2 ini, hanya papan yang ditempel di batang pohon saja untuk menunjukkan bahwa tempat itu adalah pos 2.
Setelah pos 2 inilah menurutku ujian sebenarnya dimulai. Jalur berubah menjadi berbatu dan mempunyai kemiringan yang cukup menyiksa lutut. Jika sebelumnya hanya kaki yang bekerja, kini tangan kami pun harus ikut bekerja menahan beban tubuh dan barang bawaan yang kian naik kian terasa berat.
Sampai secara tidak sadar, kami pun mulai berjarak satu sama lain dan kini terbagi menjadi 3 kelompok. Di depan 2 orang, tengah 4 orang, dan paling belakang 4 orang. Aku berada di rombongan paling belakang
Saling Terpisah
Waktu sudah semakin malam, masing-masing kelompok sudah terpisah makin jauh. Yang sebelumnya saling berteriak dan bersahut-sahutan untuk menunjukkan jarak diantara kami kini berubah hening. Teriakan yang aku coba pun ternyata sudah tidak berbalas sebuah sahutan.
Kini tinggal berempat, aku dan ketiga temanku dimana satu diantaranya adalah perempuan. Perjalanan kami sering terhenti karena kawan perempuan kami sepertinya sudah tidak kuat lagi. Apalagi jalur di depan yang masih terus menanjak dan berbatu benar-benar membuat kawan perempuan kami kepayahan.
Dan benar saja, tak lama kemudian teman perempuan kami muntah. Wajanhnya terlihat mulai pucat dan lemas. Akhirnya kami berhenti sebentar untuk beristirahat, cukup dilema karena suhu yang sangat dingin membuat kami tidak boleh berhenti terlalu lama, namun di satu sisi kami harus menunggu kawan perempuan kami untuk beristirahat dan mencoba mengumpulkan tenaga kembali.
kami mulai berjalan lagi, masih dengan jalur yang miring dan berbatu. Di depan aku melihat tempat terbuka. Akhirnya aku mempercepat langkah dengan sedikit merangkak. Setelah sampai di ujung tanjakan, mataku dibuat terpesona dengan pemandangan kelap kelip kota lampu kota Magelang yang terlihat dari atas. Hingga aku tidak sadar temanku yang ada dibelakang belum kelihatan.
Berjalan Sendirian hingga tiba di Pos 3
Karena belum kelihatan, aku menunggu mereka dengan duduk sembari menikmati pemandangan kota Magelang. Namun semakin lama suasana terasa semakin sunyi, kini hanya terdengar samar-samar suara jangkrik dan sesesakli desau angin yang berhembus. Aku mulai tidak betah karena dingin yang semakin menusuk. Aku mencoba berteriak, namun sahutan yang kuharapkan dari teman dibawah ternyata tidak terdengar. Sejenak aku berfikir mau turun ke bawah atau lanjut pelan-pelan jalan ke atas. Akhirnya aku memutuskan untuk lanjut berjalan pelan ke atas.
Jalur kini sudah terbuka, namun aku harus lebih fokus karena di kiri sudah langsung jurang karena aku melewati jalur baru yang melewati sisi gunung. Sedikit informasi, sebelumnya jalur via sawit ini mengambil rute melewati tengah gunung, namun akibat pernah terjadi longsor, belakangan rute diubah menjadi melewati sisi pinggir gunung.
jalur menanjak berubah menjadi jalur rata dan sudah tak berbatu lagi menjadi penanda bahwa sudah akan segera tiba di pos 3. Kudengar suara-suara yang sudah tidak asing lagi berada di depan. Aku mempercepat langkah dengan setengah berlari. Dan benar saja, disana ada keempat temanku sedang beristirahat di pos 3. Lega rasanya bisa bertemu rombongan kembali.
Tiba di Puncak Sunset Gunung Andong
Dari pos 3 menuju puncak perjalanan tidak terlalu lama lagi, sekitar 15 menit. Jalurnya pun sudah tidak menanjak lagi dengan pemandangan pemukiman dan perkebunan warga yang terlihat di bawah. Di arah barat gunung merbabu pun nampak begitu indah bertemankan gemintang akhir pekan di langit yang cerah.
Akhirnya aku dan keempat temanku tiba dipuncak. Kabut sudah mulai turun ketika kami tiba, sehingga membuat pandangan kami jadi terbatas. Kami tiba kurang lebih pukul 11 malam, dimana kondisi puncak saat itu begitu ramai oleh para pendaki dan puluhan tenda pun nampak sudah berdiri. Maklum saja karena kami mendaki pada akhir pekan, maka kondisi begitu ramai. Setiap akhir pekan Gunung Andong tidak pernah sepi dari pendaki, maka banyak yang menjuluki tempat ini sebagai “Kampung Pendaki”.
Sesampainya di Puncak, kami langsung mencari kedua kawan kami yang tadi berjalan paling depan. Kawasan camp area yang berupa dataran luas sudah dipenuhi warna-warni tenda dan nyaris tidak ada tempat kosong lagi. Kami berkeliling mengitari area camp, namun kedua kawan kami tak kunjung kelihatan batang hidungnya.
Hingga akhirnya kami mendekati sebuah warung yang ada disana. Jika dilihat dari depan warung ini menyediakan beraneka macam menu makanan dan minuman. Saat kami tiba, di dalam warung sudah banyak sekali pendaki dengan berbagai macam kegiatannya. Ada yang ngopi, ada yang sedang makan mie, ada juga yang nongkrong sambil melahap gorengan di depan mereka.
Aku duduk disebuah kursi bambu yang berada di samping warung, dimana tak lama kemudian kudengar suara yang tidak asing. Kudekati sumber suara tersebut yang mengarah kebelakang warung, dan ternyata kedua kawan kami yang tadi duluan sedang mencoba mendirikan tenda.
Tanpa komando dan aba-aba aku dan kawan yang baru datang ikut membantu mendirikan tenda yang satunya. Tak butuh waktu lama dua tenda sudah berhasil berdiri di tempat yang sebenarnya kurang ideal. Kami mendirikan tenda dekat dengan jurang dengan lahan yang tidak begitu luas. tapi mau bagaimana lagi, camp area yang sudah penuh membuat kami terpaksa mendirikan tenda di tempat-tempat yang masih tersisa.
Setelah tenda berdiri dan berbincang santai, tak lama setelah itu ketiga kawan yang berada di barisan paling belakang akhirnya tiba juga. Bersyukur dan senang rasanya bisa berkumpul kembali dan bisa mencapai Puncak Gunung Andong bersama-sama, walau dipenuhi drama dan berbagai cerita di sepanjang perjalanannya. Dan tak lupa menikmati sunset gunung andong bersama rekan-rekan.
Terjebak Badai
Setelah masak-masak dan makan malam, kami memutuskan untuk segera beristirahat karena waktu juga sudah menunjukkan tengah malam. Kami tidak ingin terlambat menyaksikan pemandangan sunries dari Gunung Andong yang konon katanya sangat indah itu.
Namun istirahat kami terganggu oleh badai yang tiba-tiba menerjang dan menerbangkan pasir-pasir yang ada di puncak Gunung Andong. Beberapa kali pasak kami terlepas dan membuat kami harus memperbaiki di tengah angin badai yang tak henti-hentinya menerjang. Kami cukup panik malam itu. Tenda yang ditempati oleh kawan perempuan pun sudah tidak berbentuk lagi karena pasak dan kain pelapisnya hampir terlepas.
Kami benar-benar dibuat kerepotan sepanjang malam itu, karena badai tak henti-hentinya menerjang. Pada akhirnya kami begadang hingga pagi hampir tiba. Setelah badai mereda kami mulai bisa tenang dan perlahan menutup mata kami yang lelah diuji badai Andong sepanjang malam.
Sunrise Gunung Andong
Baru sebentar tertidur, aku dibuat terbangun oleh ramainya suara di luar tenda. Nampaknya sudah pagi dan para pendaki lain sudah mulai keluar dari tenda masing-masing untuk melihat suguhan pertunjukkan keluarnya matahari dari persembunyiannya.
Dengan mata yang masih sangat berat aku mencoba membangkitkan diri sembari membangunkan kawan-kawan yang lain. jam di layar hp menunjukkan pukul 5 pagi saat aku keluar tenda. Pemandangan luar biasa menyambutku. Langit cerah Gunung Andong dan suara burung-burung yang bernyanyi riang benar-benar menenangkan.
Kami pun bersama-sama menuju daratan tertinggi yang berada di sebelah timur tempat tenda kami berdiri. Daratan yang terlihat sudah dipenuhi banyak orang. Kami bergegas karena tak ingin melewatkan momen sedikitpun.
Warna jingga mulai mewarnai cakrawala, matahari mulai menyembul dari persembunyiannya. Senyum kecil tersimpul dariku melihat indahnya pertunjukkan alam dari tuhan. Rasa syukur pun tak lupa aku panjatkan karena diberi kesempatan untuk melihat pemandangan seindah ini. Bendera merah putih yang diikatkan diatas sebuah tiang, menari-nari cantik.
Dari daratan yang aku injak sekarang, pemandangan luar biasa tersaji di manapun arah aku memandang. Kami melanjutkan eksplorasi ke arah bukit yang bentuknya mirip seperti punggung sapi. Untuk menuju kesana, kami melewati sebuah jalan setapak yang sempit dengan jurang di kanan kirinya. Dari atas bukit punggung sapi ini, kami bisa melihat dengan jelas gunung-gunung lain yang ada disekitar Gunung Andong. Gunung Merapi, merbabu, Telomoyo, Prau, Sindoro dan Sumbing terlihat sangat gagah berlukiskan langit biru dan awan. Bahkan Gunung Lawu pun juga bisa terlihat karena cuaca pagi itu sangat cerah.
Setelah puas, tak lupa kami berfoto bersama sebagai penanda keberhasilan kami mencapai puncak Gunung Andong bersama-sama. Foto yang suatu saat nanti akan menjadi kenangan yang manis, foto yang nantinya akan kami rindukan. Terimakasih Gunung Andong.